Sabtu, 28 Mei 2011

Analalisis kesalahan berbahasa

Analisis Kesalahn Berbahasa
Kepala Rumah Tahanan Klas II-B Bangli, Bali, akhirnya dicopot dari jabatannya (diberhentikan dari jabatannya) karena terbukti sering mengizinkan sejumlah napi keluar masuk rutan. Tak (tidak) hanya itu, Putu Widiawan juga diketahui menerima suap dari para napi yang keluar untuk mengedarkan narkoba. Ada pengakuan dari para tersangka yang menyebut mereka menyetor Rp 1 juta kepada Putu Widiawan setiap hendak keluar rutan untuk bertransakski narkoba.

Sebelumnya, aparat Polres Badung menangkap dua napi yang mengedarkan narkoba di luar rutan. Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Bali pun langsung memeriksa Kepala Rutan Bangli. Berdasar temuan (berdasarkan hasil temuan) tim yang dibentuknya, Kakanwil Depkumham Bali lansung mencopot (memberhentikan)Putu Widiawan dari jabatannya karena dinilai telah melanggar aturan dan mempermalukan Depkumham [baca: Kepala Rutan Bangli Dicopot].(ADO)
sumber: www.liputan6.com

Tugas Resensi

A. Pengertian Resensi

Resensi adalah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya, baik itu buku, novel, majalah, komik, film, kaset, CD, VCD, maupun DVD. Tujuan resensi adalah menyampaikan kepada para pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya itu patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak. Yang akan kita bahas pada buku ini adalah resensi buku. Resensi buku adalah ulasan sebuah buku yang di dalamnya terdapat data-data buku, sinopsis buku, bahasan buku, atau kritikan terhadap buku.

Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Artinya melihat kembali, menimbang, atau menilai. Arti yang sama untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan recensie, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Tiga istilah itu mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas buku. Tindakan meresensi dapat berarti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku, membahas, atau mengkritik buku. Dengan pengertian yang cukup luas itu, maksud ditulisnya resensi buku tentu menginformasikan isi buku kepada masyarakat luas.

Ada yang berpendapat bahwa minimal ada tiga jenis resensi buku.

1. Informatif, maksudnya, isi dari resensi hanya secara singkat dan umum dalam menyampaikan keseluruhan isi buku.
2. Deskriptif, maksudnya, ulasan bersifat detail pada tiap bagian/bab.
3. Kritis, maksudnya, resensi berbentuk ulasan detail dengan metodologi ilmu pengetahuan tertentu. Isi dari resensi biasanya kritis dan objektif dalam menilai isi buku.

Namun, ketiga jenis resensi di atas tidak baku. Bisa jadi resensi jenis informatif namun memuat analisa deskripsi dan kritis. Alhasil, ketiganya bisa diterapkan bersamaan.

B. Unsur-unsur Resensi

Daniel Samad (1997: 7-8) menyebutkan unsur-unsur resensi adalah sebagai berikut:

1. Membuat judul resensi

Judul resensi yang menarik dan benar-benar menjiwai seluruh tulisan atau inti tulisan, tidakharus ditetapkan terlebih dahulu. Judul dapat dibuat sesudah resensi selesai. Yang perlu diingat, judul resensi selaras dengan keseluruhan isi resensi.

2. Menyusun data buku

Data buku biasanya disusun sebagai berikut:

a. judul buku (Apakah buku itu termasuk buku hasil terjemahan. Kalau demikian, tuliskan judul aslinya.);

b. pengarang (Kalau ada, tulislah juga penerjemah, editor, atau penyunting seperti yang tertera pada buku.);

c. penerbit;

d. tahun terbit beserta cetakannya (cetakan ke berapa);

e. tebal buku;

f. harga buku (jika diperlukan).

3. Membuat pembukaan

Pembukaan dapat dimulai dengan hal-hal berikut ini:

a. memperkenalkan siapa pengarangnya, karyanya berbentuk apa saja, dan prestasi apa saja yang diperoleh;

b. membandingkan dengan buku sejenis yang sudah ditulis, baik oleh pengarang sendiri maupun oleh pengarang lain;

c. memaparkan kekhasan atau sosok pengarang;

d. memaparkan keunikan buku;

e. merumuskan tema buku;

f. mengungkapkan kritik terhadap kelemahan buku;

g. mengungkapkan kesan terhadap buku;

h. memperkenalkan penerbit;

i. mengajukan pertanyaan;

j. membuka dialog.

4. Tubuh atau isi pernyataan resensi buku

Tubuh atau isi pernyataan resensi biasanya memuat hal-hal di bawah ini:

a. sinopsis atau isi buku secara bernas dan kronologis;

b. ulasan singkat buku dengan kutipan secukupnya;

c. keunggulan buku;

d. kelemahan buku;

e. rumusan kerangka buku;

f. tinjauan bahasa (mudah atau berbelit-belit);

g. adanya kesalahan cetak.

5. Penutup resensi buku

Bagian penutup, biasnya berisi buku itu penting untuk siapa dan mengapa.
Contoh resensi:
Menjanda di Usia 10 Tahun
Bagaimana bila seorang gadis yang masih belia dinikahkan dengan seorang lelaki yang berusia tiga kali lipat dari umur sang gadis? Bagaimana pula bila lelaki itu ternyata suka menganiaya istri belianya tersebut?

Buku I Am Nujood, Age 10 and Divorced (Saya Nujood, Usia 10 dan Janda) merupakan kisah nyata yang ditulis Delphine Minoui tentang perjuangan seorang anak perempuan di Yaman yang dengan susah payah memberanikan diri untuk menggugat cerai suaminya ke pengadilan.

Kisah ini berkisar pada seorang anak perempuan bernama Nujood, yang memiliki saudara kandung sebanyak 10 orang, dan saudara tiri hasil pernikahan ayahnya dengan istri kedua, sebanyak lima orang.

Nujood, yang dilahirkan pada 1998, awalnya bertempat tinggal di Khardji, desa terpencil di sebelah barat laut Yaman. Namun, keluarganya didera isu perzinaan yang menerpa saudara perempuan Nujood sehingga dianggap mencoreng kehormatan desa sehingga keluarga mereka terpaksa hijrah ke Sana’a, ibu kota Yaman.

Kehidupan di ibukota yang keras juga membuat ayahnya yang dahulu bekerja sebagai petani dengan banyak hewan ternak hanya bisa berganti menjadi penyapu jalanan. Kemiskinan juga membuat Nujood dan sejumlah saudaranya terpaksa turun ke jalan untuk mengemis.

Pada Februari 2008, ayahnya yang cemas bahwa anak perempuannya juga akan diterpa “desas-desus jahat” memutuskan untuk menikahkan Nujood dengan lelaki berusia 30 tahun yang juga berasal dari Khardji.
Selain itu, alasan lainnya adalah karena “tak punya cukup uang untuk memberi makan seluruh keluarga.”

Saat pesta pernikahan, Nujood yang tidak setuju untuk dinikahi itu mengaku hanya bisa “duduk dengan tampang datar di sudut ruangan utama, wajahku bengkak karena menangis”. Kesedihannya terus berlanjut saat berpisah dari keluarganya dan terpaksa pindah untuk tinggal bersama keluarga suaminya di Khardji.

Meski pada awalnya terdapat semacam perjanjian bahwa suaminya tidak akan menyentuh Nujood sebelum dirinya mendapat haidnya yang pertama, perjanjian itu telah dilanggar bahkan pada saat malam pertama. Ibu mertuanya juga terus-menerus memberikan perintah sehari-hari kepada Nujood dan menyuruhnya agar bisa beradaptasi dengan kehidupan barunya yang “tidak berhak mengeluh, tidak berhak mengatakan tidak”.

Perilaku suaminya semakin lama semakin menjadi. Hampir setiap malam, suaminya mulai memukuli Nujood antara lain karena “lelah mendengar rengekan”. Bahkan, setiap kali suaminya mengeluh tentang Nujood, ibu mertuanya menyuruh untuk memukul lebih keras lagi karena istri dianggap harus selalu mendengar dan menuruti perkataan suaminya.

Setelah beberapa lama lelah mendengar tangisan, akhirnya sang suami mengizinkan Nujood mengunjungi orangtuanya di Sana’a.
Ia menceritakan tentang pengalamannya saat menjalani hidup berumah tangga, tetapi ayahnya dengan tegas menyatakan bahwa dia tidak boleh meninggalkan suaminya. Ayah Nujood lebih mencemaskan masalah kehormatan dibandingkan dengan penderitaan yang dialami putrinya.

“Kalau kau menceraikan suamimu, saudara-saudaramu dan sepupu-sepupumu akan membunuhku! Kehormatan, itu yang lebih penting. Kehormatan! Kau mengerti?” tegas ayah Nujood. Kerabat lainnya seperti saudara laki-laki dan semua paman Nujood juga tidak mau mendengarkan perkataannya.

Nujood akhirnya menemui Dowla, ibu tiri atau tepatnya istri kedua dari ayahnya. Dowla memutuskan bahwa Nujood harus ke pengadilan untuk mendaftarkan gugatan cerai. Nujood pun menyusun rencana agar bisa sampai ke pengadilan tanpa diketahui kerabatnya yang lain.
Di gedung pengadilan, setelah berputar-putar dan tertidur karena kelelahan, Nujood akhirnya berhasil bertemu dengan hakim Abdo yang awalnya tidak percaya bahwa ia telah menikah.

Hal ini karena berdasarkan UU di Yaman, batas usia yang legal untuk menikahkan anak perempuan adalah 15 tahun. Setelah laporannya dipercaya, Nujood akhirnya ditampung di rumah salah satu hakim. Sementara itu, aparat keamanan juga bertindak dengan menahan ayah dan suaminya dengan alasan untuk melindungi Nujood.

Nujood juga mendapatkan seorang pengacara, yaitu seorang pengacara perempuan yang enerjik bernama Shada, yang dengan cepat menjadi sahabat akrab.

Pada sidang pengadilan pertama pada 15 April 2008, ruang pengadilan disesaki oleh warga, termasuk para wartawan yang ingin mengetahui nasib gadis berusia 10 tahun yang menuntut cerai suaminya. Setelah melewati berbagai sesi persidangan yang menguras emosi, akhirnya pengadilan memutuskan bahwa gugatan perceraian tersebut dikabulkan, dan Nujood dengan segera menjadi semacam selebritas baru di negara Yaman.

Berbagai orang yang memantau sidang tersebut lewat media, kala berpapasan dengan Nujood di jalan, kini kerap memberikan ucapan “Mabruk!” (selamat) kepadanya.

Selain itu, kisah perjuangan Nujood juga cepat tersebar ke dunia internasional sehingga hampir setiap pekan para jurnalis dari beragam negara datang untuk bertemu dengan dirinya.

Perceraian Nujood telah menghancurkan sebuah pintu yang tertutup. Sebenarnya terdapat banyak kasus anak gadis yang dinikahkan di bawah batas usia legal di Yaman, akibat faktor kemiskinan, adat istiadat setempat, serta kurangnya pendidikan.

Akibat terpicu oleh merebaknya kisah Nujood dan berbagai kasus perceraian serupa setelahnya, parlemen Yaman pada Februari 2009 meloloskan UU baru yang menaikkan usia legal dari 15 tahun menjadi 17 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan.(ach/WN)

Sumber: http://rimanews.com/read/20110305/18936/menjanda-di-usia-10-tahun
http://www.jendelailmu.com/daftar-buku/rid-34482-1617/menjanda-di-usia-10-tahun.html#editorial_review
http://jajawilsa.blogspot.com/2009/05/pengertian-resensi.html

Rabu, 25 Mei 2011

tugas softskill bahasa indonesia

Pengaruh bahasa gaul terhadap bahasa Indonesia

A. Latar Belakang
Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti. Bahasa memiliki berbagai definisi. Definisi bahasa adalah sebagai berikut:
1. suatu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
2. suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke dalam pikiran orang lain
3. suatu kesatuan sistem makna
4. suatu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna.
5. suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh: Perkataan, kalimat, dan lain-lain.)
6. suatu sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik.
Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada manusia, dinyatakan bahwa bahasa adalah fungsi kognisi tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan Ilmu yang mengkaji bahasa ini disebut sebagai linguistik.
Seiring berkembangnya zaman, bahasa Indonesia mengalami perubahan. Perubahan ini menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa inilah yang dinamakan bahasa alay. Untuk sebagaian masyarakat khususnya kaum muda, bahasa alay ini marak digunakan. Mereka menyebut bahasa ini sebagai bahasa gaul.
B. Pembahasan
Alay adalah sebuah istilah yang merujuk pada sebuah fenomena perilaku remaja di Indonesia. "Alay" merupakan singkatan dari "anak layangan." Seseorang yang dikategorikan alay umumnya memiliki perilaku unik dalam hal bahasa dan gaya hidup. Dalam gaya bahasa, terutama bahasa tulis, alay merujuk pada kesenangan remaja menggabungkan huruf besar-huruf kecil, menggabungkan huruf dengan angka, atau menyingkat secara berlebihan. Dalam gaya hidup, alay merujuk pada gaya yang dianggap berlebihan, norak, atau selalu berusaha menarik perhatian.
Bahasa Alay muncul pertama kalinya sejak ada program SMS (Short Message Service) atau pesan singkat dari layanan operator yang mengenakan tarif per karakter yan berfungsi untuk menghemat biaya.

Namun dalam perkembangannya kata-kata yang disingkat tersebut semakin melenceng, apalagi sekarang sudah ada situs jejaring sosial.

Dan sekarang penerapan bahasa Alay sudah diterapkan di situs jejaring sosial tersebut, yang lebih parahnya lagi sudah bukan menyingkat kata lagi, namun sudah merubah kosa katanya bahkan cara penulisannya pun bisa membuat sakit mata orang yang membaca karena menggunakan huruf besar kecil yang diacak ditambah dengan angka dan karakter tanda baca. Bahkan arti kosa katanya pun menceng jauh dari yang dimaksud.
Bahasa Alay sendiri mempunyai ciri-ciri diantaranya sebagai berikut:
1.) Menggunakan huruf besar-kecil
contoh: aPA KabAR bRo??
2.) Mengganti huruf dengan angka atau simbol-simbol
contoh: W0y! k3m@n4 4j@ L0e?
3.) Mengganti huruf "s" dengan "x" atau "c"
contoh: KoQ XmX GuW GaG dI bAleS c??
Penggunaan bahasa ini memberikan dampak negatif bagi kaum muda sekarang ini. Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan adalah:
1. Masyarakat Indonesia tidak mengenal lagi bahasa baku.
2. Masyarakat Indonesia tidak memakai lagi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
3. Masyarakat Indonesia menganggap remeh bahasa Indonesia dan tidak mau mempelajarinya karena merasa dirinya telah menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
4. Dulu anak – anak kecil bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi sekarang anak kecil lebih menggunakan bahasa gaul. Misalnya dulu kita memanggil orang tua dengan sebutan ayah atau ibu, tapi sekarang anak kecil memanggil ayah atau ibu dengan sebutan bokap atau nyokap.
5. Penulisan bahasa indonesia menjadi tidak benar. Yang mana pada penulisan bahasa indonesia yang baik dan, hanya huruf awal saja yang diberi huruf kapital, dan tidak ada penggantian huruf menjadi angka dalam sebuah kata ataupun kalimat.
Terlepas dari itu, ternyata bahasa alay juga dapat memberikan manfaat diantaranya adalah untuk membuat kata sandi di account Yahoo!, Facebook, Twitter dan lain sebagainya.

sumber : harisunik.blogspot.com
www.wikipedia.com
theniesland.blogspot.com